Sabtu, 04 Februari 2017

Fikih Saksi Ahli Ala Kiai Ma'ruf Amin

Fikih Saksi Ahli Ala Kiai Ma'ruf Amin
Fikih Saksi Ahli Ala Kiai Ma'ruf Amin.

oleh
Cholil Nafis, Lc., Ph D
Dosen Pascasarjana UI

Kiai Ma'ruf Amin (KMA) yg ahli ilmu fikih itu memberi kesaksian tentang kasus penistaan Al Qur'an di Pengadilan. Cerobohnya, pihak Ahok menganggap sikap keagamaan (baca: fatwa) MUI adalah "pesanan" SBY utk memenangkan paslon 1. Maka di pengadilan itu Sang Fakih ditanya: Apakah ada telepon dari SBY kepeda KMA ?

Kiai MA yg harus bersaksi di bawah sumpah tentu tak boleh bohong, tapi pertanyaan itu menjebak. Bahwa jika mengakui ada telepon dari SBY bukan semata telepon biasa tapi berarti mengakui bahwa keputusan MUI tentang Ahok menista agama adalah atas "pesanan" bukan atas pertimbangan fakta dan dalil syariah. Inilah dilema jawaban yang harus dijelaskan saksi di bawah sumpah meskipun makna yg diinginkan adalah membangun opini sesat.

Sang Kiai MA yg jawara itu menjawab: tak ada telepon dari SBY. ditanya berkali2 pun tetap menjawab tak ada telepon dari SBY. Ahok dan para pembelanya yang awalnya memancing Sang Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) berbalik mereka yg terpancing dan emosi sehingga ucapannya menusuk dirinya sendiri: melanggar hukum sadap dan tak beretikan. Blunder!

Sebenarnya apa yg terjadi? SBY tak menelepon sendiri secara langsung tetapi melalui sambungin telepon stafnya lalu dilanjutkan dengan SBY. Namun pembicaraannya berkenaan dengan kunjungan Paslon Gubernur No. 1 ke PB NU. Di situ tak ada pembicaraan apalagi permintaan soal fatwa penista Al Qur'an itu. Lah kalau begitu berarti memberi keterangan palsu klo jawaban KMA tak ada telepon dari SBY?

Menurut ulama Fikih, bersaksi di bawah sumpah di pengadilan adalah sesuai dengan kontek pembicaraan. Jadi, meskipun pertanyaannya apakah ada telepon dari SBY tapi maknanya adalah telepon SBY yg meminta utk menetapkan fatwa penista agama dan Kiai Ma'ruf/MUI terpengaruh dalam keputusannya. Tentu jawaban KMA tdk palsu. Hal ini sama dengan orang bersumpah tidak akan makan daging selama sehari, sedangkan kata daging yg masyhur di masyarakat (makna 'urfi) adalah daging sapi. Maka dia tidak dianggap melanggar sumpah jika makan daging kambing dan daging ayam apalagi hanya makan daging ikan. Ia melanggar sumpah kalau makan daging sapi karena makna yg masyhur di masyarakat kata daging artinya adalah daging sapi.

Pertanyaan berikutnya: apakah orang yg bersumpah di depan hakim arti katanya seperti yang diniatkan hakim atau orang yg bersumpah? Menurut madzhab Hanafi Sumpah mengikuti niat yg bersumpah jika dizhalimi dan mengikuti kehendak hakim jk yg bersumpah zhalim. Jelas menurut pendapat ini keterangan KMA adalah sesuai makna yang dikehendakinya buka hakim karena KMA sedang dizhalimi dengan tuduhan "menjual" sikap keagamaan MUI untuk kepentingan politik seseorang. Ini kezhaliman karena telah menuduh lembaga keagamaan tercemar dan merendahkan para ulama di MUI.

Menurut Pendapat madzhab Maliki dan Syafi'i: Keterangan saksi diartikan sesuai dengan kehendak hakim. Menurut Madzhab Hambali: sumpah saksi sesuai dg arti yg dikehendaki oleh saksi selama ia tidak zhalim.

Dari mayoritas pendapat madzhab fikih dapat dicerna, bahwa keterangan saksi di depan pengadilan adalah sesuai kehendak saksi bukan hakim selama saksi bukan orang zhalim. Meskipun mau diartikan sesuai pendapat bahwa makna keterangan saksi sesuai kehendak hakim tetap saja KMA tidak memberi keterang palsu. Sebab konotasi telepon dari SBY itu bukan telepon biasa tetapi pesanan fatwa sesuai permintaannya.

Kini arogansi Ahok dan pengacaranya telah menuai masalah dari berbagai pihak. Secara hukum menjadi catatan untuk diusut, dari aspek kesopanan yang dilanggar banyak menuai kecaman sedangkan elektabilitas politik berpotensi akan drastis menurun karena warga NU di DKI Jakarta dihimbau jangan memilih paslon yang menyinggung warga NU.

Ahok dan Pemgacaranya berkilah untuk membangun opini bahwa sikap keagaam MUI yang dipimpin Kiai Ma'ruf Amin tidak murni berdasarkan kajian keagamaan, Namun hilah Kiai MA bahwa tidak menerima telepon dari SBY (yang mempengaruhi sikap keagamaan MUI) membuat mereka beram dan emosinya meledak. Itulah fenomena siasat ahli hukum positif melawan tahqiq ahli hukum Islam di Indonesia.

SUMBER
https://www.facebook.com/cholil.nafis.1/posts/10211855598208164
Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar Yang Anda Sukai

Tidak ada komentar